Pranata Adicara, MC Jawa

Walaupun perkembangan zaman semakin modern, ternyata kepatuhan masyarakat Jawa terhadap tata upacara penganten adat Jawa tidak tergusur. Bahkan ada kecenderungan bagi keturunan Jawa di kota-kota terdapat perasaan prestise semakin tinggi bila melaksanakan upacara perkawinan sesuai dengan adat Jawa.

Misalnya masyarakat Jawa yang ada di kota Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta, atau masyarakat Jawa di luar Jawa akan merasa lebih bangga apabila dapat melaksanakan upcara pernikahan putra-putrinya dengan adat Jawa.

Upacara adat Jawa tersebut memerlukan seorang pemandu acara agar pelaksanaan serangkaian acara berlangsung lancar dan jangkep (lengkap). Pemandu inilah yang sering disebut MC (master of ceremony) yang biasa diterjemahkan pembawa acara, pranatacara, pambiwara, dsb.

Tetapi berdasarkan pengalaman penulis, terjemahan tersebut kurang tepat. Kalau pembawa acara, pranatacara, pambiwara, cenderung hanya bertugas menyampaikan serangkaian urutan acara, sedangkan MC selain menyampaikan serangkaian urutan acara juga bertugas mengisi berbagai kekosongan segmen pada prosesi upacara sehingga suasana tampak hidup dan dinamis.

Oleh karena itu sehingga wajar kalau dia dikatakan masternya dalam upacara itu. Terjemahan yang lebih tepat, MC adalah pranata laksitaning adicara, pranata adicara karena ia bertugas membuat haru birunya suasana agar tidak tampak kosong dan lengang.

Pranata adicara hanyalah orang yang dipercaya sohibul hajat untuk merangkai serangkaian acara prosesi perkawinan adat Jawa. Sebagai orang “suruhan” selain bertugas mengharubirukan suasana, sambil menyelam minum air, tidak terasa bahwa pranata adicar telah berperan turut ambil bagian dalam pelesatrian bahasa, sastra, dan budaya Jawa.

A. KOTROVERSI PEMAKAIAN BAHASA

Ada tiga kubu yang masing-masing memiliki dasar yang kuat tentang pemakaian bahasa di dalam prosesi adat perkawinan Jawa.

(1) Pendapat pertama berifat antagonis, kubu ini berpendapat bahwa pemakaian bahasa di dalam prosesi perkawinan adat Jawa (lengkap dari pemasangan bleketepe hingga resepsi pernikahan) tidak perlu menggunakan bahasa yang muluk-muluk yang akhirnya audien tidak mengerti maksudnya. Gunakan bahasa yang sederhana saja, yang penting prosesi berjalan lancar. Prinsip komunikasi adalah keterpahaman informasi antar- partisipan.

(2) Pendapat kedua bersifat kompromis, kubu ini berpendapat bahwa pemakaian bahasa yang indah di dalam prosesi perkawinan adat itu perlu. Itu akan menambah keindahan suasana. Walaupun tak tahu artinya? Ya, walaupun tidak tahu artinya. Tidak jarang orang berkata “Wah bahasa MC-nya bagus, indah dan enak didengar”. Tetapi apakah kamu tahu artinya. Jawabnya: “Tidak”.

(3) Pendapat ketiga lebih dinamis, kubu ini lebih moderat bahasa yang indah bagi pranata adicara sangat diperlukan, tetapi makna juga perlu diperhatikan.

Bahasa yang indah tidak harus penuh dengan bahasa kawi, tetapi terletak pada cara merangkai kata dan kalimat dalam suatu wacana. Bahasa yang indah itu perlu mengingat pada prosesi perkawinan adat semuanya penuh hiasan.

(a) calon atau mempelai dirias sedemikian rupa indahnya, hingga tergagum orang dibuatnya,
(b) orang tua mempelai berdandan sedemikian bagusnya sebagai penghormatan kepada tamunya yang berarti pula menghormati diri sendiri (supaya orang lain menghormatinya),
(c) tempat pelaksanaan upacara penuh dekoratif yang indah dipandang, (d) para tamu juga pada berhias diri,
(d) makanan juga penuh dengan selera tinggi (menurut kemampuan masing-masing sohibul hajat),
(e) pengisi suasana gendhing, lagu, tembang, penuh hiasan kegembiraan. Semuanya penuh hiasan, semua penuh keindahan sehingga tidak begitu salah apabila bahasa pranata adicara juga penuh hiasan keindahan.

Untuk menciptakan bahasa dan sastra yang indah, tidak jarang pranata adicara menggunakan kata-kata kawi, yang para audien belum tentu tahu. Yang penting pranataca adicara tahu kapan dan di mana dapat mengunakan bahasa yang maknanya audien tidak harus tahu.

Misalnya saat panyandra penganten temu, duduk, panyandra sasana, monolog pranata adicara. Keadaan ini tidak melibatkan audien atau petugas lain secara langsung. Mereka cukup mendengar yang merasakan keindahan bahasa sang pranata adicara.

Selain itu pranata adicara juga harus dapat menggunakan bahasa yang diketahui makna-nya oleh para audien. Bahasa ini digunakan ketika ada petugas yang berkaitan dengan pelaksanaan rangkaian tata upacara.

Misalnya terdapat permintaan kata sambutan dari tuan rumah, atau ucapan selamat dari para tamu, atau pemberian petuah oleh para tetua. Untuk memanggil beliau-beliau yang bertugas ini, hendaknya pranata adicara menggunakan bahasa yang lugas dan dimengerti oleh mereka.    

Dalam merangkai kata, kalimat, dan wacana yang indah, pranata adicara tidak jarang menggunakan kata-kata khusus, yang jarang dipakai, atau kata-kata kawi. Dengan dipakainya kosakata tersebut, diharapkan orang Jawa tidak merasa asing dan kosakata itu masih eksis walaupun hanya pada saat atau situasi tertentu.

Dapat diperkirakan, jika kosakata yang sudah jarang dipakai itu, tidak pula digunakan dalam situasi tertentu (saat perkawinan adat Jawa), jelas kosakata itu akan hilang (atrisi bahasa).
 
B. FENOMENA ATRISI BAHASA

Atrisi bahasa secara umum mengacu pada hilangnya kemampuan berbahasa seseorang atau sekelompok masyarakat tutur. Hal ini mengakibatkan hilangnya kosakata yang dimiliki oleh sekelompok penutur bahasa.

Ruang lingkup atrisi bahasa adalah: (1) menurunnya penggunaan bahasa pertama (B1) dalam situasi kedwibasaan, (2) hilangnya B1 di kalangan minoritas karena kontak bahasa, (c) hilangnya bahasa di kalangan manula, (d) punahnya suatu dialek atau bahasa, (d) hilangnya keterampilan berbahasa yang pernah dipelajari karena jarang dipergunakan (Mandaru, 1992).

Lingkup pertama, menurunnya penggunaan B1 dalam situasi kedwibahasaan dapat terjadi dalam bahasa Jawa. Ini mulai tampak bahwa semakin menurunnya keturunan Jawa yang dapat berbahasa Jawa dengan baik dan benar, terutama untuk generasi muda sekarang ini. Ini merupakan dampak penggalakan pemakaian bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.

Dapat diperkirakan bahwa satu atau generasi mendatang semakin sulit menemukan orang Jawa yang dapat berbahasa secara jangkep (baik dan benar). Generasi muda sekarang lebih pandai menggunakan bahasa Indonesia, daripada berbahasa Jawa sebagai B1-nya. Dalam kondisi yang demikian pranata adicara semakin menjadi barang antiq yang semakin “mahal”.

Lingkup kedua, hilangnya B1 di kalangan minoritas karena kontak bahasa. Hal ini bisa terjadi bagi transmigran Jawa di luar Jawa. Hal ini disebabkan adanya kontak bahasa Jawa dengan bahasa setempat (lokasi transmigrasi). Namun apabila ada yang mampu menjadi pranata adicara dengan bahasa Jawa dengan lebih mapan, dia akan sangat laris.

Ini dialami teman penulis pegawai PU di Sumatra Utara yang berprofesi sebagai MC. Ia sebetulnya merasa sangat kecil sekali, ia mengatakan bahwa bahasa Jawa yang digunakan waktu menjadi MC adalah terjemahan dari bahasa Indonesia. Herannya, ia tetap laris saja bahkan pernah sampai ke Singapura, gara-gara dapat MC berbahasa Jawa.

Lingkup ketiga, hilangnya bahasa karena faktor manula sulit untuk dihindari. Semakian tua usia seseorang akan menurun kemampuanya termasuk dalam kemampuan berbahasa. Penurunan kemampuan ini dapat menyebabkan atau disebabkan oleh menurunnya penguasaan kosakata akibat sifat lupa. Dalam studi kebahasaan orang yang menjadi nara sumber bahasa umumnya orang yang sudah senior dan menguasai bahasanya dengan baik.

Lingkup keempat, hilangnya keterampilan berbahasa karena jarang dipergunakan lagi. Ini terjadi pada mahasiswa Bahasa Jawa yang pada saat mengikuti kuliah Ekspresi Lisan dan Ekpresi Lisan Lanjut telah menguasai banyak kosakata yang berkaitan dengan prosesi perkawinan adat Jawa, kosakata itu banyak pula yang hilang karena jarang dipraktikkan di masyarakat. Sehingga ketika akan melaksanakan tugas menjadi pranata adicara, mereka harus “membanting tulang” kembali untuk persiapan diri.

Ada berbagai faktor terjadinya atrisi bahasa:

(1) faktor psikologis yaitu lupa. Dua teori utama yang mendasari adalah interferensi psikologi Behaviorisme dan teori gagal-temu (retrieval-failure). Menurut teori intereferensi bahwa bahasa-bahasa kedua (B2) yang memiliki karakteristik yang relatif sama dengan B1 akan memudahkan pembelajar mempelajari B2. Kaidah yang sama sekali berbeda membuat pembelajar merasa kesulitan. Akan tetapi kesamaan kaidah B1 dan B2 sering mengakibatkan pencampuradukan penggunakan dua bahasa yang disebut interferensi. Interferensi ini muncul spontan dan tidak disadari oleh penutur. Ia telah gagal menemukan (“lupa”) kaidah baku bahasa yang ingin dituturkan.

(2) faktor pribadi seperti umur, jenis kelamin, serta pengalaman dan pendidikan,

Semakin tua umur semakin berkurang kemampuan termasuk dalam berbahasa. Ada bahasa-bahasa tertentu yang menandai adanya male dan female. Tidak aneh apabila kaum pria tidak tahu apa yang dibicarakan kaum wanita. Rendahnya pengalaman dan pendidikan juga merupakan faktor rendahnya pemakian bahasa. Semakin tinggi pengalaman dan pendidikan seseorang, bahasanya semakin kompleks. Sebaliknya semakin rendah pengalaman dan pendidikan seseorang semakin kurang produktif dalam penggunaan bahasa. Kekurangproduktivan ini yang mempengaruhi atrisi bahasa.

(3) faktor sosiolinguistik, misalnya kontak bahasa dan loyalitas penutur. Ini terjadi pada kondisi dwibahasa. Semakin kurang loyal pemakai bahasa (bahasa Jawa) terhadap bahasanya, lebih terpengaruh untuk menggunakan bahasa lain (bahasa Indonesia) semakin mempercepat atrisi B1-nya (bahasa Jawa).

(4) faktor linguistik menurunnya intensitas input dan kesinambungan pajanan. Karena pajanan (exposure) berkurang, input berkurang pula. Semakin input berkurang, out put berkurang pula. Pengurangan pemakaian (out put) ini mengakibatkan atrisi bahasa. Sebenarnya pajanan dapat terjadi di mana-mana. Penutur dihadapkan pada keadaan yang sesungguhnya, bentuk pajanan misalnya kehidupan di keluarga. Bila di dalam keluarga sudah jarang menggunakan bahasa Jawa, jangan harap anak dapat berbahasa Jawa dengan baik dan benar. Pajanan lain misalnya di majalah berbahasa Jawa, di upacara-upacara pernikahan penganten, dsb.

C. PERAN PRANATA ADICARA

1. Pelestari Bahasa

Pada uraian kontroversi pemakaian bahasa, penulis cenderung mengikuti pendapat ketiga. Pada dasarnya dalam menggunakan bahasa pranata adicara berkomunikasi secara langsung atau tidak langsung. Berkomunikasi secara langsung, ketika pranata adicara meminta kepada petugas lain, misalnya untuk memberikan ucapan selamat datang, sambutan, petuah, dsb.

Dalam hal ini bahasa pranata adicara harus diketahui oleh lawan bicara sehingga ia mengerti akan tugasnya. Komunikasi tidak langsung terjadi ketika pranata adicara melakukan monolog selama prosesi perkawinan. Dalam monolog ini audien memang sekedar apresiatif sehingga kalau dia tahu bahasanya, syukur, jika tidak tidak akan menganggu jalannya prosesi perkawinan. Misalnya panyandra panggih penganten, sasana, suasana, penganten, tidak harus audien tahu.

Pada kesempatan menunaikan tugasnya, pranata adicara boleh menggunakan kosakata  khusus bahasa Jawa yang tidak biasa digunakan di dalam kehidupan sehari-hari, misalnya widagda, pancawara, saptawara, pustaka pikukuhing palakrama, bleketepe, sindur, kacar-kucur, dsb. Selain itu ada hiasan kata-kata kawi atau bahasa Jawa kuna.

Jika dalam kehidupan sehari-hari kata-kata itu sudah tidak dipakai dan di acara penganten pun tidak, kita tinggal menunggu atrisi bahasa akan terjadi. Karena jarang dipakai dan manusia memiliki sifat lupa, kata-kata itu akan hilang dari ingatan dan akhirnya hilang sama seklai. Oleh karena itu wajar apabila generasi berikutnya sudah tidak mengerti kata-kata tersebut.

Selain berperan dalam melestarikan bahasa, pranata adicara juga dapat menggunakan bahasa yang bernuansa lebih indah. Bandingkan contoh-contoh berikut:

1) a. Tuhu ing dina kang piniji, dinten kang pinilih, nun inggih ing ari Tumpak Manis windu Sancaya risang abagus miwah ahayu sampun widagda nambut guna talining akrama kanthi hanapakasmani pustaka pikukuhing palakrama. Kekalihnya sampun sahadipraya manungggal ing karsa, arsa mangku bale wisma, manunggal ing tekad arsa hamangun brayat, kanthi asesanti rumangsa handarbeni melu hangrungkebi mulat sarira hangrasawani.

b. Saestu wonten ing dinten ingkang sampun dipunpilih, inggih menika dinten Setu Legi windu Sancaya risang abagus saha ahayu sampun palakrama kanthi napakasmani buku nikah. Kakalihipun sampun mangunggalaken ing karsa badhe mangun kulawarga kanthi asesanti rumangsa handarbeni melu hangrungkebi mulat sarira hangrasawani.

2) a. Dhedhep tidhem prabawaning ratri, sasadara wus manjer kawuryan, ginarebek ing taranggana, katon padhang sumilaking akasa, rebut wor suh soroting risang kartika yen kacandra kadya nila kekoja. Katon hanggegancang munggwing tawang lintang bima sakti kang pindha kurda anuwak tutuking naga, pethit ginapit lintang lanjar ngirim sumambung kang gubug penceng. Lintang waluku katon sumunu, gemak tarupala kang angenguwung lir sekar tanjung.

b. Ing wanci dalu karaos sepen, rembulanipun sampun sumunar, ginarubyuk para lintang, ketingal padhang ing langit, samya rebutan sorotipun menawi dipuncandra kados nila kekoja. Lintang bima sakti ketingal santosa kados nuwak tutuking naga, ing pethit dipungapit lintang lanjar ngirim, lajeng dipunsambung sang gubug penceng. Lintang luku ketingal sumunar, sunare gemak tarupala kados sekar tanjung.

2. Pelestari Sastra

Dalam melaksanakan tugasnya, pranata adicara banyak berolah bahasa dan sastra. Dari dua contoh tersebut, dapat dicermati rasa bahasa dan sastranya. Namun demikian masih banyak bentuk sastra lain yang biasa digunakan oleh pranata adicara, misalnya geguritan, wangsalan, parikan, cerita-cerita hasil kususasteraan, tembang, panyandra, basa rinengga, bebesan, paribasan, saloka, dsb. (Suwarna, 1998).

Sudah jarang terdengar sekarang, apalagi di kota, seorang bapak yang rengeng-rengeng melantunkan tembang-tembang Dhandhanggula, Sinom, Asmaradana, atau yang lainnya sebagai pengantar tidur anaknya atau sebagai hiburan diri sendiri. Pelestarian sastra tampaknya memang harus melalui peristiwa-peristiwa tertentu, misalnya dialog-dialog sastra, karawitan, kethoprak, wayang, upacara adat (kelahiran, penganten), atau yang lainnya. Berikut contoh kidung siraman (3), tembang panebusing kembar mayang (4), dan di resepsi pernikahan (5).

3) Sapa ta kang wus siraman, sang bagus miwah sang putri, kang priya pekik sulistya, kang putri endahing warni, lir dyadara widadari, tejane katon sumunu, nenggih Bagus Santosa, kaliyan Dewi Sulistyani, tulus mulya kalis saking sambekala.

4) Ratri iki konayoman mugi, dadya hayu kalis ing sambekala, entek lebur rubedane, nama wit kalpataru, miwah Dewadaru puniki, antuk karsaning Suksma, salugu kagadhuh, ratu miwah kang akrama, hingasta pra widadara widadari, hander maring buwana.

5) Janma putra palakrami, candrane pinindha raja, lir prameswari putrine, nenggih sang Bagus Jatmika, miwah Mirasani ika, sang Bagus kalyan Ahayu, tunggal cipta rasa karsa.

3. Pelestari Budaya

Kadangkala pranata adicara merupakan tempat untuk bertanya tentang segala acara yang akan dilaksanakan di dalam prosesi pernikahan. Bahkan sering diundang rapat untuk narasumber acara. Dalam kondisi demikian, pranata adicara dapat membeberkan setiap prosesi adat yang akan dilaksanakan. Uraian itu selain bentuk juga manfaat dan tujuannya. Dari uraian pranata adicara tersebut, sohibul hajat akan menentukan dan memilih acara. Ada kemungkinan beberapa pilihan, antara lain (a) acara dilaksanakan jangkep (lengkap), (b) acara yang penting-penting saja, dan (c) acara yang praktis saja.

Walaupun pranata adicara tidak dapat menentukan acara yang akan dilaksanakan, telah memberikan kontribusi bagi para pelaku pelestari adat perkawinan Jawa. Semakin lengkap tata upacara perkawinan dilaksanakan, semakin besar pula andil pranata adicara di dalam melestarikan adat perkawinan budaya Jawa.

Oleh: Suwarna

PUSTAKA

  • Mandaru, Mans. 1992. Atrisi Bahasa: Sisi Pemerolehan Bahasa yang Jarang Dijamah. Makalah. Malang: IKIP.
  • Suwarna. 1998. Gita Wicara Jawi Pranatacara saha Pamedharsabda. Yogyakarta: Kanisius.

Tags: MC Bahasa Jawa, Melestarikan Budaya Jawa